Selamat Datang Di blog Tie_jhe

maaf lox isi dari blog ini mungkin kurang berkesan buat anda..

Senin, 13 Desember 2010


ASAL USUL SALATIGA

Dulu, kabupaten Semarang termasuk wilayah kesultanan Demak. Daerah ini diperintah oleh seorang Bupati bernama Ki Ageng Pandanaran. Beliau seorang Bupati yang ditaati rakyat. Selain berwibawa, beliau juga kaya raya.
Akan tetapi, lama kelamaan beliau makin memperkaya diri sendiri. Beliau tidak lagi mempedulikan rakyatnya. Sunan Kalijaga penasehat Sultan Demak, bermaksud mengingatkan sang Bupati. Dengan berpakaian compang-camping, beliau menyamar sebagai pedagang rumput. Beliau menawarkan rumput kepada Ki Ageng. Ki Ageng mau membeli rumput itu dengan harga murah. Sunan Kalijaga tidak mau memberikannya.
Akhirnya, Ki Ageng marah dan mengusir Sunan Kalijaga. Sebelum pergi, Sunan Kalijaga berkata bahwa dia dapat menunjukkan cara memperoleh kekayaan dengan mudah. Sunan Kalijaga kemudian meminjam cangkul. Sunan Kalijaga lalu mencangkul tanah di depan kabupaten. Ki Ageng kaget ketika melihat bongkahan emas sebesar kepala kerbau di balik tanah yang di cangkul Sunan Kalijaga. Ki Ageng lalu memerhatikan pedagang rumput itu dengan seksama. Setelah tahu siapa sebenarnya, ia pun terkejut. Kemudian, ia minta maaf. Ia pun bersedia dihukum karena kesalahannya. Sunan Kalijaga memaafkan Ki Ageng. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Ageng kembali memerintah dengan cara yang benar.
Sejak kejadian itu, hidup Ki Ageng menjadi gelisah. Beliau lalu memutuskan untuk menebus kesalahannya. Beliau meninggalkan jabatan Bupati. Beliau ingin mengikuti jejak Sunan Kalijaga menjadi penyiar agama. Beliau pun berniat pergi ke gunung Jabaikat. Beliau akan mendirikan pesantren disana. Nyai Ageng ingin ikut bersama Ki Ageng. Ki Ageng memperbolehkan Nyai Ageng ikut, tetapi dengan syarat, Nyai Ageng tidak boleh membawa harta benda.
Pada waktu yang ditentukan, Nyai Ageng belum siap. Beliau masih sibuk. Nyai Ageng ternyata mengatur perhiasan yang akan dibawanya dalam tongkat bambu. Ki Ageng lalu berangkat duluan. Setelah siap, Nyai Ageng lalu menyusul. Ditengah jalan, Nyai Ageng dihadang tiga perampok yang meminta hartanya. Akhirnya semua perhiasan yang dibawa diberikannya kepada perampok.
Nyai Ageng menyusul Ki Ageng. Setelah bertemu, Nyai Ageng menceritakan peristiwa yang dialaminya. Ki Ageng berkata bahwa kelak, tempat Nyai Ageng dirampok akan dinamakan “Salatiga”, berasal dari kata salah dan tiga, yaitu tiga orang yang bersalah.

SALATIGA

asal usul salatiga

Kota Salatiga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Salatiga)
Langsung ke: navigasi, cari
Kota Salatiga Lambang Kota Salatiga
Peta lokasi Kota Salatiga
Koordinat : 110 ° 28′ 37.79″ – 110o 32′ 39.79″ BT
Motto: Çrir Astu Swasti Prajabhyah
Provinsi Jawa Tengah
Ibu kota {{{ibukota}}}
Luas 17,87 km²
Penduduk
· Jumlah 159.000 (2003)
· Kepadatan 8.898 jiwa/km²
Pembagian administratif
· Kecamatan 4
· Desa/kelurahan -
Dasar hukum UU No. 13/1950
Tanggal -
Hari jadi {{{hari jadi}}}
Walikota John Manuel Manoppo SH
Kode area telepon 0298
APBD {{{apbd}}}
DAU Rp. 124.117.000.000
Suku bangsa {{{suku bangsa}}}
Bahasa {{{bahasa}}}
Agama {{{agama}}}
Flora resmi {{{flora}}}
Fauna resmi {{{fauna}}}
Zona waktu {{{zona waktu}}}
Bandar udara {{{bandar udara}}}
——————————————————————————–
Situs web resmi: http://www.pemkot-salatiga.go.id
Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 40 km sebelah selatan Kota Semarang, dan berada di jalan negara yang menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Berada di lereng timur Gunung Merbabu, membuat kota ini berudara cukup sejuk.
Di kota ini terdapat Universitas Kristen Satya Wacana, salah satu universitas swasta ternama di Indonesia, yang pernah terkenal di tahun 80-an karena kekritisan para mahasiswa dan dosennya terhadap Pemerintah Orde Baru. Sekolah-sekolah menengah di Salatiga melalui Internet dihubungkan dalam Jaringan Pendidikan Salatiga. Adapun sekolah-sekolah menengah di Salatiga antara lain : SMA Negeri 1 Salatiga, SMA Negeri 2 Salatiga, SMA Negeri 3 Salatiga dan beberapa SMA swasta. Ada pula SMK Negeri 1 Salatiga, SMK Negeri 2 Salatiga, SMK Negeri 3 Salatiga dan beberapa SMK swasta. Di Salatiga ada 10 SMP Negeri dan beberapa SMP swasta.
Sejarah Kabupaten Salatiga
Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal-usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti maupun penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari beberapa sumber tersebut Prasasti Plumpungan-lah yang dijadikan dasar asal-usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 10cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
Berdasar prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu itu Salatiga merupakan perdikan.
Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Sansekerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: “Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian”. Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Zaman kolonial
Salatiga pada masa kolonial tercatat sebagai tempat ditandatanganinya perjanjian antara Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (kelak menjadi KGPAA Mangkunegara I) di satu pihak dan Kasunanan Surakarta dan VOC di pihak lain. Perjanjian ini menjadi dasar hukum berdirinya Kadipaten Mangkunegaran.
Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status Kota Salatiga, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917 didirikan Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.
Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letak yang sangat strategis, maka Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan Belanda, bahkan sempat memperoleh julukan “Kota Salatiga yang Terindah di Jawa Tengah”.
Zaman kemerdekaan
Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga adalah bekas stadsgemeente yang dibentuk berdasarkan Staatsblad 1929 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
SALATIGA : MENCOBA MENCARI JATI DIRI
Ketika saya membaca sebuah majalah periklanan, saya terkesan dengan sebuah artikel tentang strategi penjualan produk Lux dan Sariayu. Agar memperoleh tingkat penjualan yang tinggi, Sariayu melakukan berbagai macam strategi penjualan untuk menjangkau pangsa pasar. Diantaranya menciptakan produk skin care yang menerangkan dengan sejelas-jelasnya keuntungan produk tersebut agar target pasar mau menggunakan produk ini. “Pendekatan secara pribadi akhir-akhir ini merupakan suatu cara yang tepat untuk menjual kepada wanita,” ungkap Patricia Husada, Marketing Manager Sariayu.
Tidak jauh berbeda dengan Sariayu, Lux menciptakan sebuah karakter yang membedakannya dengan merk produk yang lain. Dalam kampanyenya akhir-akhir ini, Lux mengangkat tema “Playing with beauty” yang artinya merayakan kecantikan setiap hari. Dengan berbagai macam varian yang ditawarkan, diharapkan dapat memahami beragam karakter wanita yang mencoba untuk didekati oleh Lux baik secara general sebagai kaum hawa maupun ke masing-masing perempuan yang memiliki kebutuhan yang berbeda untuk menunjukkan keunikan mereka.
Bila ditarik secara makro, maka tidak ada salahnya untuk mencoba mencari benang merah dari artikel ini kepada sebuah pengembangan kota. Sebagai warga pendatang, saya ingin menemukan kekhasan atau keunikan dari kota Salatiga dimana saya sekarang tinggal. Mengapa perlu mencari keunikan dari sebuah kota? Sebab memiliki keunikan berarti dapat meningkatkan ‘daya jual’ bagi kota itu sendiri, seperti analogi penjualan Lux dan Sariayu diatas. Ambil contoh, pulau Bali. Umumnya orang mengakui bahwa Bali adalah kota wisata. Keunikan yang dimiliki adalah sektor pariwisatanya. Ketika Bali secara serius mengelola kepariwisataannya, maka jadinya seperti sekarang ini. Terkenal sampai mancanegara dan bahkan menjadi tujuan wisata masyarakat lokal maupun internasional. Contoh lain misalnya, kota Yogyakarta. Dalam rentang waktu dua setengah abad lebih, kota Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang dengan pesat, berubah menjadi layaknya kota-kota besar pada umumnya namun tetap memiliki cirinya sendiri. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa pada awalnya segala jenis kegiatan, baik perdagangan, jasa, pembangunan, pendidikan dan sebagainya dengan balutan kekuatan budaya dan sejarah unik yang ada itulah yang menjadikan Yogyakarta berbeda. Interaksi tersebut yang pada akhirnya menjadikan Yogyakarta tampil sebagai kota budaya, kota wisata, kota pelajar, Indonesia mini dan beragam julukan lain yang disandangnya. Satu lagi contoh untuk menggambarkan perlunya keunikan sebuah kota untuk meningkatkan daya saing adalah kota Solo. Solo mengklaim dirinya sebagai kota budaya. Adanya kantong-kantong kegiatan kesenian ditambah berbagai ritual upacara yang dilaksanakan Keraton Kasunanan maupun Mangkunegaran, menjadikan kota Solo menyandang predikat sebagai kota budaya sekaligus daerah tujuan wisata.Bahkan dengan slogan terbarunya yakni Solo, The Spirit of Java diharapkan bisa membangun image Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa, dan juga sebagai langkah untuk menarik wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.
Bagaimana dengan Salatiga sendiri? Salatiga yang konon bernama Sala-Tri, memang mengalami banyak perubahan dan perkembangan di berbagai bidang. Salah satunya adalah pergeseran tulang punggung perekonomian dari sektor agraris ke sektor industri dan perdagangan. Kemajuan perindustrian terlihat dari berdirinya pabrik-pabrik besar yang mempunyai pangsa pasar domestik dan internasional. Misalnya, PT Damatex dan Timatex yang tiap tahun mampu memproduksi kain grey sekitar 53 juta yard, benang sekitar enam juta kilogram, dan pakaian jadi sekitar 22 juta yard. Investasi yang ditanamkan mendekati Rp 300 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 5.917 orang. Produknya dipasarkan hingga Timur Tengah, Amerika, Belanda, India, Kanada, Italia, dan Australia. Sisanya sekitar 40 persen untuk konsumsi domestic ( Kompas, 24 Juli 2007 ).Dari hasil diskusi saya dengan dosen sosiologi UKSW, memang sektor industry tersebut berkembang, namun apabila dilihat dari segi geografisnya, Salatiga sebenarnya memiliki potensi lain yang bisa dikembangkan, misalnya sebagai kota tanaman hias. Letaknya di ketinggian 450-800 meter di atas permukaan air laut menjadikannya sejuk dan asri sehingga sesuai untuk pengembangan tanaman hias yang dapat hidup mulai dari dataran rendah sampai tinggi. Suhu yang diperlukan tanaman hias, Anthurium misalnya, berkisar antara l8-20°C pada malam hari, dan 27 -30°C pada siang hari, dengan kelembaban 50-90% (Rosario 1991). Salatiga sendiri rata-rata memiliki suhu udara 21-25°C dengan kelembaban 81-83% dengan curah hujan 300-540 mm, sehingga cocok untuk pengembangbiakan tanaman hias. Apalagi sekarang, pemeliharaan tanaman hias tengah menjadi ‘trend’ bagi masyarakat kita dan menghasilkan keuntungan yang lumayan menjanjikan apabila ditekuni. Jadi, mengapa tidak dicoba?